Untuk apa Seseorang Menulis?, Untuk apa penulis menghasilkan karya tulisan?. Dari Jam 4 Sore hari selasa tanggal 27 desember 2011 yang lalu, tepatnya di warung wafa 99. saya ingin menulis sebuah artikel. saya menulis karena punya semacam hasrat untuk saling berbagi apa yang sedang saya pikirkan dan juga mempunyai satu cita-cita, paling tidak seumur hidupku bisa menghasilkan/menulis satu buku "Tulisan tanganku sendiri" dan bisa diterbitkan, dan dibaca oleh orang banyak, AMIN.... Setidaknya saya sudah bisa membantu Generasi kedepan.
"Adalah", "menjadi", "To Be" -begitu pentingnya bagi manusia, juga pernah bagi saya sendiri, sampai kemudian eksistensialisme itu justru sangat merepotkan saya sendiri. Di usia saya sekarang, Betapa hal itu menggelikan. Perjuangan saya sehari-hari ini adalah membebaskan diri dari label-label, Formalitas status, profesi, atau apapun. Saya selalu menindas diri saya dengan keyakinan bahwa "menjadi" itu pasangan katanya ya "manusia". menjadi manusia. Dan ternyata, itu saja susahnya bukan main.
Dan akhirnya, Tuhan mengabulkan muatan pikiran saya untuk "tidak eksis" : sehingga saya hampir tidak sempat menjadi diri saya sendiri, melainkan menjadi seseorang menurut orang yang memandang saya, membayangkan saya, menyangka-nyangka saya, menteori-teorikan saya, mempeta-petakan saya sesuai latar belakang dan subyektivisme mereka masing-masing, adapun saya sendiri "Ketelingsut" di pojok hati sunyi saya sendiri.
Di tengah itu semua sesekali saya "terpaksa" menulis, dan sama sekali bukan karena saya penulis atau karena saya ingin menulis. melainkan karena proses-proses sosial yang menyandera saya memerlukan tulisan demi tulisan pada momentum tertentu, karena ada satu dan lain hal yang harus disampaikan, diuraikan, dianalisis, dan dihikmahi, demi kepentingan solusi sosial dari segala sesuatu yang "menjebak" saya itu.
Kelihatannya, tulisan-tulisan semacam itulah yang akan saya tulis diartikel saya hari ini.
Tetapi sekarang, hari-hari ini, saya sedang melakukang upaya pembebasan sosial untuk mengambil diri saya kembali dari penjara-penjara sejarah yang menggelikan tetapi melelahkan itu. Sejarah di mana Negara bukan Negara, di mana Pemimpin bukan Pemimpin, Demokrasi tidak berarti sungguh-sungguh Demokrasi, Pemerintah yang tidak tepat bernama Pemerintah, serta apapun yang serba posisi "konotatif".
Saat ini saya sedang berada di dalam "Era Konotasi", era ketelingsutnya "Denotasi", Tuhan saja pun tidak Denotatif. juga agama, syariat, negara, rumah (kok) "sakit" seharusnya rumah sehat, Pegawai (kok) "negeri" seharusnya pegawai saja, demokrasi, rakyat, penderitaan, kezaliman, serta hampir semua hal dan kata.
Saya benar-benar harus meloncat ke luar dan menjauh dari pagar, harus mundur sekian langkah, harus mengambil jarak sejauh-jauhnya dari kerajaan dunia yang sudah hampir mutlak menindas manusia, memanipulasi obyektivitas, merendahkan nilai-nilai sesungguhnya merupakan satu tanda- tanda manusia menjadi bukan binatang, bukan hewan atau setan.
Sejak tadi sore, saat saya masih berada di "WARMAK" (warung makan) wafa 99 bersama wanita pintar dan sopan. Tiba-tiba datang sekelompok pengamen dan seorang pengemis, sejenak saya melihat mereka sekilas dan menadahkan muka saya ke bawah meja. sambil merokok dan menarik isapan panjang sebatang rokok. saya melihat mereka kembali. sambil menyodorkan uang recehan, dari saku saya. kepada wanita pintar dan sopan yang ada di depan saya. dengan maksud wanita itu yang memberikan uang receh tersebut, kepada pengamen dan saya memberikan sebatang rokok saya kepada pengemis.
ada 2 alasan yang membuat saya tidak suka ngasih apa-apa kepada pengemis\pengamen. Pertama, saya tidak setuju sehingga tidak suka bahwa manusia kok mengemis. Kedua, kalau ada orang mengemis kepada saya, selalu saya merasa terganggu, bahkan terteror. Sejak beberapa puluh meter sebelum saya berpapasan dengan orang itu sudah terbersit di hati bahwa saya akan memberikannya uang. Tetapi, ketika mendekat lantas dia menadahkan tangan mengemis kepada saya, terus terang saya langsung drop kehilangan semangat untuk memberi.
"Saya ini berniat memberi, jangan dimintai!!. kalau memberi karena dimintai apa hebatnya, tetapi kalau tidak diminta kalau tidak diminta kita tetap membari : itu baru nikmat."
Tak ada hak saya untuk tidak suka kepada pengemis atau kepada pengamen dan apa pun lah itu/ saja, karena mereka semua ciptaan Tuhan-mana berani saya tak menyukai karya Allah. Tetapi, tak bisa dielakan memang saya agak jengkel atau mungkin benci kepada pekerjaan mengemis. Dalam menjalankan kehidupan ini, untuk perjalanan pribadi, keluarga, grup, kelompok, komunitas, dan apa pun yang terkait dengan pribadi saya, sungguh-sungguh tidak boleh ada pengemisan, proposal, iklan, promosi, menawarkan diri, mengajukan diri, mencalonkan diri, atau apa pun saja yang ada frekuensi kepengemisanya.
dan untuk pembaca semuanya. jangan pikir saya meminta uang kepada orang tua saya, itu mengemis. kalau dalam hal ini, konteksnya berbeda. sebab "perbuatan" saya meminta uang ke orang tua saya itu niatnya berbeda. karena saya menganggap untuk saat ini saya masih bekerja kepada orang tua-ku, dan uang yang kudapatkan itu merupakan hasil gaji-ku
Kita hidup karena disuruh hidup oleh Yang Berhak (haqq). saya berjalan karena diperkenankan berjalan oleh yang logis legal untuk memperkenankan saya berjalan. Nikah, Hamil, beranak pinak karena penyatuan cinta, bukan melamar dan dilamar. Saya tidak saggup merencanakan dan melamarkan apa-apa atas kehidupan. Tidak ada karier, tidak ada masa depan, yang ada hanya perkenan: kalau di depan hidung disodorkan sawah, kita mencangkul, mempelajari tanah, sawah, tanaman, cuaca, musim.
Tak ada permusuhan, yang ada hanya kasih sayang yang melahirkan perkenan. Yang berkenan adalah yang memiliki Haq untuk memperkenankan. Saya tidak mampu menjadi diri sendiri. Membela diri pun tidak. terlebih lagi menjadi pahlawan. Saya tak punya hak asasi manusia, karena saham saya menjadi manusia dibawah satu persen. Kalau telah tiba kaki di batas maut, kematian sungguh tak pernah menunggu dilamar sehingga kehidupan berlangsung tidak karena dilamar.
Mungkin karena itu saya tidak punya keberanian memaknai kata "doa" sebagai permohonan, permintaan, mengemis kepada Allah, meskipun Allah sangat mendengarkan orang yang memohon kepada-Nya. Saya mengambil dimensi lain dari kata "doa". Da'a dan yad'u itu memanggil, du'a atau da'wah itu panggilan. Dakwah bermekanisme Horizontal: menganjurkan, menyarankan, mengingatkan. Du'a atau doa itu vertikal. Tentu saja bukan posisi kita memanggil allah. Yang agak mendekati atau enak mungkin adalah menyeru, menyapa.... Berdoa adalah menyapa Allah. Kita sapa dia karena dia tahu persis apa yang kita perlukan dari-Nya. "Menyapa" itu statusnya "memberi", maka lebih potensial untuk dibalas pemberian oleh Allah. Sedangkan "memohon" itu ya "minta", potensi untuk diberi lebih kecil dibanding menyapa. Sekurang-kurangnya begitulah pemikiran dari pemahaman otak dangkal saya/logika saya. Sebagaimana kalau thawaf saya berani menjauh-jauh dari kabah karena tahu diri ini kotor tak terkira. Kalau lancang mendekat-dekat, Saya takut Allah memelototiku sebagai manusia tak tahu diri. GR, merasa pantas dekat-dekat ke rumah-Nya.
Maka tak ada nabi pernah punya statement bahwa dirinya baik. tak ada rasul menyatakan bahwa tidak kotor. Adam AS menyebut dirinya zalim, juga Yunus. Muhammad SAW menangis dalam sujudnya tiap malam meskipun secara obyektif ia hampir tidak berdosa, tak memberi sedikit pun hak dalam hidupnya pada kerakusan, kesombongan, hedonisme, bahkan kepada kekayaan. Allah menyediakan baginya gunung emas dan jabatan nabi yang raja, mulkan-Nabiyya, Namun ia memilih menjadi 'abdan-Nabiyya: nabi yang jelata.
Muhammad SAW memilih kemiskinan meskipun menolak kefakiran. Nabi Khidir hadir kepadamu dengan suatu jenis performance yang kau benci, kau usir, kau tolak tadahan tangannya. ada seorang suku badui di masa lalu dalam setahun berbulan-bulan pergi menyusuri jalanan berpakaian pengemis. Allah menyatakan kalimat yang tak perlu ditafsirkan : "Yang kau buang-buang itu bisa jadi baik bagimu, yang kaujunjung-junjung itu bisa jadi mencelakakanmu".
Tentu saja Muhammad atau orang suku badui ini berbeda dengan sindikat pengemis dengan jaringan organisasi luas yang mengerahkan pasukan-pasukan taipan ke tepian dan perempatan-perempatan jalan. Berbeda dengan orang-orang dusun yang punya sawah namun mencari tambahan penghasilan dengan mengemis. Berbeda dengan berbagai macam jenis dan latar belakang sosiologis kaum pengemis yang pada suatu hari melahirkan aturan yang melarang mereka mengemis dan melarang orang memberinya sesuatu.
Sangat banyak keburukan dan kejahatan yang bisa didaftari dalam mencatat para pengemis di Jakarta. Juga sangat mudah menuliskan argumentasi sosial mental budaya atau apa saja untuk melaran orang kasih uang kepada pengemis. Tetapi sangat jauh lebih mudah mencatati 100 kali lipat keburukan, kejahatan, kebodohan, keculasan para perampok struktural yang menuliskan aturan untuk para pengemis. Para pengemis tak legal bikin aturan, Para perampok boleh dan berhak dianggap baik. Pasien tak legal bikin aturan, dokter boleh bikin aturan mencopot jantungnya orang yang sakit jantung agar tak sakit jantung.
Pesan penulis :
"Setiap orang kebahagiaannya itu sudah lengkap, Jadi gunanya Pasaangan Hidup (pacar, kekasih, tunangan, istri/suami) adalah untuk saling berbagi rasa kebahagiaan. Tetapi meskipun kalian belum mempunyai pasangan, Itu bukan berarti kebahagiaan kalian kurang. tapi Tak ada lagi tempat untuk Meluapkan Kebahagiaan. Jadi berbagilah!!!"


Komentar
tapi ngomong2 kau nantik brrti bakalan gak nglamar pcarmu mat..??
hahaha...